Sabtu, 11 Januari 2014

Kongkow PerCa Episode 4

Hai Sobat... Bagaimana kabarnya di awal tahun yang baru ini? 
Di awal tahun 2014 ini,  sekaligus untuk menyambut hadirnya semester baru, PerCa akan mengadakan Kongkow lagi. Kongkow keempat ini akan diadakan pada:


Jumat, 17 Januari 2014
Pkl. 15.00
di Student Center UKSW

Buku yang akan kita ulas kali ini adalah:
Judul Buku (Asli)        : Please Stop Laughing at Me – One Woman’s Inspirational Story
Judul buku (Terj.)        : Bencana Sekolah! – Memoar Mengejutkan, Menggugah dan Menginspirasi
tentang Bullying
Penulis                         : Jodee Blanco
Penerjemah                  : Ida Rosdalina
Tahun terbit                 : 2013
Tebal Buku                  : 352 hlm.
Penerbit                       : PT Pustaka Alvabet 

Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata selalu menarik untuk diikuti karena membuat kita belajar dari pengalaman para tokohnya. Bencana Sekolah, merupakan memoar yang ditulis dari pengalaman hidup sang penulis sendiri semasa ia masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Jodee, yang merupakan anak semata wayang dari keluarga Joy dan Tony Blanco, bertumbuh di tengah keluarga yang selalu memberikan perhatian, kasih sayang, serta dukungan penuh dalam setiap langkah Jodee. Sayangnya, hal yang sama tidak ia dapatkan di lingkungan sekolah dan teman sebayanya. Sejak berusia sembilan tahun, Jodee tahu bahwa ia berbeda dengan teman-teman seusianya. Kala itu, Jodee telah memiliki kepedulian yang besar terhadap teman-teman sekolahnya yang memiliki keterbatasan karena menderita cacat fisik dan tidak seberuntung dirinya. Hal itulah yang mendorong Jodee kecil untuk menemui Suster Rose, seorang biarawati yang juga menjadi guru dalam program khusus untuk anak-anak difabel di sekolah tersebut, dan mengajukan diri menjadi sukarelawan setiap jam makan siang. Sikap Jodee tersebut justru membuat sahabatnya, Joe Ellen, geram dan mengancam akan menjauhi Jodee apabila ia tetap bermain dengan anak-anak difabel. Semakin Jodee membela anak-anak difabel, semakin ia dijauhi oleh teman-temannya, bahkan ia pun turut menjadi sasaran ejekan dan kekerasan oleh teman-teman sekelasnya. Kekejaman yang dilakukan oleh teman-temannya semakin menjadi saat sekolah memasuki tahun ajaran baru. Tak tahan dengan perlakuan teman-temannya, orang tua Jodee akhirnya memindahkan Jodee ke sekolah swasta saat Jodee naik ke kelas enam.
 Sekolah baru, suasana baru, dan tentunya teman-teman yang baru sudah berada dalam genggaman Jodee sekarang. Tapi ada satu hal yang tidak berubah, kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok anak-anak yang disebut “populer” di sekolah terhadap anak-anak lainnya yang lemah atau yang mereka anggap aneh dan konyol. Jodee sadar, bahwa sejauh apapun ia pergi dan menghindar, situasi semacam ini tak terhindarkan. Parahnya lagi, guru-guru di sekolah tidak dapat berbuat banyak, beberapa guru bahkan berpendapat bahwa anak-anak juga harus berjuang dalam pertempuran mereka sendiri dan berusaha keras untuk berteman dengan anak-anak yang lain. Hanya ada dua pilihan bagi Jodee, masuk ke dalam kelompok populer dan berusaha bertingkah seperti mereka, atau menjadi bagian dari kelompok yang terbuang dan menjadi sasaran ejekan, cacian, atau bahkan menjadi korban kekerasan sepanjang tahun. Hari demi hari, Jodee yang mendambakan penerimaan sosial di lingkungan sekolah, berusaha mati-matian untuk dapat menjadi bagian dari kelompok populer meski harus melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraninya. Lelah karena membohongi dirinya sendiri, Jodee akhirnya mengambil sikap dan memutuskan untuk tidak terus-menerus memenuhi tuntutan dari teman-teman populernya. Namun, itu berarti Jodee baru saja mengucapkan selamat datang pada penderitaan. Tidak membutuhkan waktu lama bagi sekelompok anak populer tersebut untuk berbalik menyerang Jodee dan membuatnya begitu menderita. Kekerasan yang dialami oleh Jodee berlanjut hingga ia memasuki jenjang SMP dan SMA. Dengan dukungan dari seluruh keluarga besarnya, Jodee berusaha untuk bertahan dari badai bullying yang diterimanya. Jodee pada akhirnya sadar, bahwa kita tidak bisa bersembunyi dari siapa diri kita sebenarnya.
Ditulis dengan begitu jujur, buku ini memberikan gambaran yang jelas tentang kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan selama tahap perkembangan anak dan remaja, yang tentunya tidak bisa kita abaikan. Sang penulis, dengan berani menghidupkan kembali masa lalunya dan menceritakan bagaimana ia dapat bertahan dari kekerasan di sekolah yang cukup lama ia alami. Apa yang sudah berhasil dilakukan oleh keluarganya, dan apa yang tidak berhasil. Bagaimana ia menghindari kelompok anak-anak populer yang sangat berhasrat untuk menyakitinya. Hingga pada akhirnya, ia mampu memaafkan dan menerima orang-orang yang dulu pernah membuatnya menderita. Buku ini dianjurkan untuk dibaca di ratusan sekolah menengah dan perguruan tinggi di Amerika Serikat, dan telah masuk dalam daftar New York Times Bestseller.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar